Lakon saya sekarang sedang jadi warga komplek perumahan, sekaligus menjalani profesi sebagai tukang galon, jual air minum isi ulang. Sebagai warga komplek, artinya punya tetangga kanan kiri depan belakang, kadang ikut begadang pura-pura ronda (tentunya sambil diracuni asap rokok), dan seminggu sekali harus cari alasan untuk tak ikut pengajian RT. Dinding yang tipis dengan material yang nista (khas rumah BTN) membuat saya tiap malam harus mendengar dengan jelas suara-suara dari para tetangga. Mulai dari pertengkaran rumah tangga, desah ga jelas, tawa tangis sampai suara kompor gas yang susah menyala. Lewat rongga-rongga di atap yang saling berhubungan, saya juga berbagi tikus dan kecoa dengan keluarga yang tinggal di kanan kiri.
Sebagai satu-satunya
bujang lapuk se RT, tentu jadi mangsa empuk komentar menyindir. Misal saat saya
kelihatan mencuci baju atau piring, ada saja yang komentar dengan tema:
“Makanya, cari istri!”. Heh, mending saya cari mesin cuci kalau cuma buat nyuci, lebih aman. Dalam hati saya
penasaran, jika melihat saya bongkar motor, apakah mereka akan ngomong “makanya
cari suami!” ?? Tapi sekarang aman, saya menjemur di atap dapur, bisa jemur
baju sambil bugil, bebas dari komentar usil.
Menjadi warga komplek
itu sebenarnya cuma peran sambilan, alasan utama Tuhan mengutus saya saya
kesini adalah untuk dagang air. Mendatangkan air bersih dari sumber “entah
dimana” pakai mobil tangki, tampung di tandon, disaring 8 tahap, lalu diradiasi
dengan UV sebelum dijual sebagai air siap minum ke warga komplek dan penduduk
kampung sekitar.
Kadang saya jaga di
depo, bertugas mencuci dan mengisi botol kosong, menerima telpon, melayani
pembeli, mencatat sekaligus menyusun urutan pengisian dan pengiriman.
Multitasking abis. Ngelamun sedikit maka akan ada air yang terbuang luber, atau
pesanan yang tak tercatat.
Kadang jadi bagian
keliling. Sekilas tampak lebih simpel, hanya naik motor antar jemput botol.
Tapi ini sering dilakukan panas-panasan, kadang basah kuyup kehujanan, sambil
bingung cari alamat. Dan mengarahkan laju motor bebek roda dua di perumahan
yang berbukit-bukit dengan beban 5-6 botol berisi air plus menaik-turunkan di
setiap tujuan adalah siksaan tersendiri bagi otot-otot yang kurang nutrisi
akibat belum punya istri koki vegetarian yang paham gizi.
Tapi yang paling
melelahkan itu bagian ngurus duit. Memastikan setiap orang mendapatkan upah,
urusan maintenance mendapat budget, sambil memandangi spreadsheet yang selalu
mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan ghaib bernada pasrah: “kapan bakal balik
modal?”.
Setiap hari toko buka
mulai jam 6. Antar jemput mulai jam 7. Tutup jam 9 atau 10 malam. Tidak ada
istilah libur, adanya status ijin, atau mbolos yang berkonsekuensi potong gaji.
Ini memang kerja rodi, perusahaan baru jalan dan belum mampu membayar cukup
orang agar libur bisa gantian. Upah juga masih jauh dibawah UMR, pastinya tanpa
asuransi. Kalau nggak tahan ya cepat keluar, karena ada antrian panjang
pengangguran yang membutuh penghasilan.
Awal-awal memburuh
memang luar biasa sibuk. Tidak sempat mikir yang lain. Kalaupun ada kesempatan,
energi sudah habis, tak cukup energi bahkan sekedar untuk masturbasi (baik
intelektual, spiritual maupun fisik). Tubuh yang lelah membuat jiwa hanya ingin
tidur. Dan baru tidur sebentar, belum sempat ngorok, tiba-tiba sudah pagi dan
harus mulai lagi.
Seperti neraka, jadi
tukang galon itu rasanya lebih boros energi dibanding jadi tukang tidur
seharian, tukang sales korporat, tukang nyetir, tukang entry data, tukang tani
wannabe, tukang servis, bahkan dari tukang ngeblog sekalipun. Lebih meletihkan
dan boros waktu dibanding apapun yang pernah saya alami. Seorang rekan kerja
bahkan menderita tipes, hampir mati dan terpaksa pulang kampung, itu akibat
gagal memanage stress lahir batin ditambah pola makan yang memang mengerikan.
Tapi semua itu tidak seberapa menyesakkan dibanding rasanya dipandang sebelah
mata oleh para gadis, seolah-olah tukang galon itu sesuatu yang tak pantas
dilirik lama-lama.
Anehnya, pekerjaan
macam ini tampak tak terlalu melelahkan bagi mereka yang sudah punya keluarga.
Manusia yang sudah punya tanggungan mungkin pikirannya jadi lebih bersih,
mungkin isi kepalanya hanya mikir gimana cara menghidupi istri yang terlanjur
dikawini dan membiayai anak-anak yang sudah terlanjur dilahirkan. Tujuannya
hidupnya bisa fokus untuk cari duit. Lain dengan yang masih perjaka, pikirannya
masih dicemari hasrat untuk bermain, bereksperimen, berkreasi, dan revolusi.
Keinginan-keinginan yang jika tidak difasilitasi bisa bikin depresi,
menumpulkan kreativitas dan mematikan jiwa.
Sayangnya saya tidak
bisa berlama-lama mengasihani diri dengan mengeluhkan beratnya lakon jadi
tukang galon. Karena kemudian saya tahu kalau banyak orang disekitar saya
berkubang dalam keadaan yang jauh lebih mengerikan. Maklum, tetangga-tetangga
sekomplek kebanyakan buruh rendahan dari berbagai pabrik, tetangga kampung
sekitar juga banyak yang pengangguran. Sudah miskin lahir batin, terlanjur
kawin dan bikin banyak anak, masih kecanduan rokok pula, adalah kasus yang
sangat biasa diderita orang sekitar sini. Untung saja mereka punya agama, jadi
ada pelarian dengan rajin beribadah dan memimpikan surga.
Sekarang soal
kompetisi. Tergiur uang, banyak saja yang ikut-ikutan mendirikan usaha yang
sama persis, di lokasi yang berdekatan pula. Rebutan pelanggan tak
terhindarkan. Memang ada bagusnya, pembeli jadi punya pilihan, dan
masing-masing pedagang dipaksa untuk memberikan yang terbaik agar pelanggannya
setia. Namun ada juga buruknya, jenuhnya pasar membuat setiap depo berusaha
menekan ongkos produksi secara tidak wajar. Ada banyak cara, tapi yang pertama
terpikir biasanya menekan upah buruh, membeli air baku yang lebih murah sambil
mencekik biaya perawatan. Masing-masing punya keburukannya sendiri.
Pertama, buruh yang
bekerja dengan upah minim akan cenderung lebih stress. Anda yang percaya teori
“keajaiban air” tentu segera mengendus keburukan dari hal ini. Air yang diolah
dan dibawa oleh orang-orang stress akan merekam kegelisahan mereka dan
menyebarkannya pada siapapun yang meminum air tersebut. Kalaupun itu hoax,
orang-orang stress juga cenderung tak peduli dengan kesehatan orang lain. Bisa
saja mereka jadi cuek ngupil sambil ngisi galon, lalu upil yang tercungkil
masuk ke air minum dan pelanggan jadi lebih sehat karena minum air bervitamin
U… Upil. Yaiks. Atau dengan lugunya merokok sambil ngisi galon, karena stress
bikin mereka tidak puas meracuni paru-paru sendiri, air untuk banyak orang
harus dicemari juga.
Kedua, menekan biaya perawatan
mesin. Ini bisa dilakukan dengan banyak hal buruk, mulai dari mencuci dan
memakai berulang-ulang filter yang seharusnya sudah diganti (yang jadi cepat
mampet karena beli air dari sumber murahan), sampai tidak mengganti lampu Ultra
Violet yang mati. Bagi konsumen yang peka, mungkin akan segera merasakan dan
berpindah depo, tapi bagaimana konsumen yang sudah stress berat? Dengan
sensitifitas indera yang sudah dirusak rokok dan polusi di tempat kerja, mereka
akan terus minum tanpa pernah sadar ada sesuatu yang sangat salah.
Itu baru mencekik diri
karena kompetisi, belum sikut-sikutan yang sebenarnya biasa dalam dagang. Dalam
kompetisi, biasanya yang menang ya yang paling bermodal. Lantas bagaimana
dengan kesadaran manusia? Gimana kaitannya dengan kelestarian bumi?
Dagang air bisa laku
karena banyak sebab. Dua yang saya angkat disini. Pertama, jaman instan banyak
orang malas masak air sumur, pilih yang praktis walau agak mahal. Kedua, karena
air sumurnya memang terlalu buruk. Seperti disini, air tanahnya memang rusak
banget. Jangankan layak untuk minum, untuk ngepel saja tidak. Baunya busuk
sangat, kena kuku bisa hitam, kena keramik juga jadi noda. Kecuali beberapa
orang nekat, semua orang yang waras pilih beli saja. Yang ekonominya pas-pasan
minum isi ulang, yang banyak duit minum air produk perusahaan asing. Semua
dibeli lewat saya.
Jadi mau tak mau saya
harus mensyukuri busuknya air tanah. Semakin buruk air tanah, semakin jaya
usaha saya. Sekarang bayangkan, gimana kalau suatu pagi saya jadi maha besar? Bermutasi
dari kuli menjadi kapitalis multinasional yang hobinya menguasai sumber air di
negeri manapun yang saya kunjungi? Setiap sumber saya beli dan pagari tinggi,
anda butuh harus beli. Sesuatu yang ketersediaannya berlimpah itu tidak ada
harganya, jadi demi profit lebih besar lagi, air tanah saya rusak, misalnya
dengan limbah dan produk pestisida dari pabrik-pabrik saya yang lain, atau bisa
juga sekedar mendukung prilaku yang merusak dan pendidikan yang tidak
mencerahkan. Semakin air langka dan sulit didapat, akan semakin bisa dijual,
dan semakin membuat kaya.
Hehe. Tentu saya tidak
serakus itu. Belum.
Menurut saya, adalah
kurang baik jika segelintir pihak terus menerus mengambil keuntungan dari
sebuah “kelangkaan”, baik kelangkaan yang alami apalagi kelangkaan yang
disengaja. Siapapun yang mendapat untung dari kelangkaan akan cenderung
mensyukuri kelangkaan itu dan bisa saja tergoda untuk melestarikannya… atau
malah memperparah.
Dari sisi konsumen,
beli air (atau apapun) tanpa kesadaran sebagai solusi kelangkaan juga tidak
mendidik. Setiap kali butuh, ya beli, tapi cuma sebatas beli tanpa peduli
sebabnya air susah itu kenapa. Tanpa peduli airnya diambil dari kampung mana.
Tanpa peduli apakah proses produksinya merusak atau tidak. Akhirnya prilakunya
tetap semena-mena, tanpa kepedulian.
Selalu ada banyak cerita dibalik setiap produk yang kita konsumsi, yang
jika kita sadari, bisa mengubah prilaku kita jadi lebih mikir. Nonton “story of
stuff” bisa jadi awal yang baik.
Jadi baiknya gimana?
Sebaiknya, semua pihak
berkepentingan bisa terlibat dalam mengusahakan kelimpahan. Dengan sadar,
supaya ngerti jadi nggak sembarangan lagi. Trus untungnya juga tidak melulu
masuk kantong individu tertentu, tapi dibagi untuk semua. Tujuan utamanya juga
jangan akumulasi duit, tapi menciptakan kelimpahan bagi semua, jadi harganya
semakin murah, kalau perlu bisa gratis.