Selasa, 02 Februari 2016

Profesi tukang air galon


Lakon saya sekarang sedang jadi warga komplek perumahan, sekaligus menjalani profesi sebagai tukang galon, jual air minum isi ulang. Sebagai warga komplek, artinya punya tetangga kanan kiri depan belakang, kadang ikut begadang pura-pura ronda (tentunya sambil diracuni asap rokok), dan seminggu sekali harus cari alasan untuk tak ikut pengajian RT. Dinding yang tipis dengan material yang nista (khas rumah BTN) membuat saya tiap malam harus mendengar dengan jelas suara-suara dari para tetangga. Mulai dari pertengkaran rumah tangga, desah ga jelas, tawa tangis sampai suara kompor gas yang susah menyala. Lewat rongga-rongga di atap yang saling berhubungan, saya juga berbagi tikus dan kecoa dengan keluarga yang tinggal di kanan kiri.
Sebagai satu-satunya bujang lapuk se RT, tentu jadi mangsa empuk komentar menyindir. Misal saat saya kelihatan mencuci baju atau piring, ada saja yang komentar dengan tema: “Makanya, cari istri!”. Heh, mending saya cari mesin cuci kalau cuma  buat nyuci, lebih aman. Dalam hati saya penasaran, jika melihat saya bongkar motor, apakah mereka akan ngomong “makanya cari suami!” ?? Tapi sekarang aman, saya menjemur di atap dapur, bisa jemur baju sambil bugil, bebas dari komentar usil.
Menjadi warga komplek itu sebenarnya cuma peran sambilan, alasan utama Tuhan mengutus saya saya kesini adalah untuk dagang air. Mendatangkan air bersih dari sumber “entah dimana” pakai mobil tangki, tampung di tandon, disaring 8 tahap, lalu diradiasi dengan UV sebelum dijual sebagai air siap minum ke warga komplek dan penduduk kampung sekitar.
Kadang saya jaga di depo, bertugas mencuci dan mengisi botol kosong, menerima telpon, melayani pembeli, mencatat sekaligus menyusun urutan pengisian dan pengiriman. Multitasking abis. Ngelamun sedikit maka akan ada air yang terbuang luber, atau pesanan yang tak tercatat.
Kadang jadi bagian keliling. Sekilas tampak lebih simpel, hanya naik motor antar jemput botol. Tapi ini sering dilakukan panas-panasan, kadang basah kuyup kehujanan, sambil bingung cari alamat. Dan mengarahkan laju motor bebek roda dua di perumahan yang berbukit-bukit dengan beban 5-6 botol berisi air plus menaik-turunkan di setiap tujuan adalah siksaan tersendiri bagi otot-otot yang kurang nutrisi akibat belum punya istri koki vegetarian yang paham gizi.
Tapi yang paling melelahkan itu bagian ngurus duit. Memastikan setiap orang mendapatkan upah, urusan maintenance mendapat budget, sambil memandangi spreadsheet yang selalu mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan ghaib bernada pasrah: “kapan bakal balik modal?”.
Setiap hari toko buka mulai jam 6. Antar jemput mulai jam 7. Tutup jam 9 atau 10 malam. Tidak ada istilah libur, adanya status ijin, atau mbolos yang berkonsekuensi potong gaji. Ini memang kerja rodi, perusahaan baru jalan dan belum mampu membayar cukup orang agar libur bisa gantian. Upah juga masih jauh dibawah UMR, pastinya tanpa asuransi. Kalau nggak tahan ya cepat keluar, karena ada antrian panjang pengangguran yang membutuh penghasilan.
Awal-awal memburuh memang luar biasa sibuk. Tidak sempat mikir yang lain. Kalaupun ada kesempatan, energi sudah habis, tak cukup energi bahkan sekedar untuk masturbasi (baik intelektual, spiritual maupun fisik). Tubuh yang lelah membuat jiwa hanya ingin tidur. Dan baru tidur sebentar, belum sempat ngorok, tiba-tiba sudah pagi dan harus mulai lagi.
Seperti neraka, jadi tukang galon itu rasanya lebih boros energi dibanding jadi tukang tidur seharian, tukang sales korporat, tukang nyetir, tukang entry data, tukang tani wannabe, tukang servis, bahkan dari tukang ngeblog sekalipun. Lebih meletihkan dan boros waktu dibanding apapun yang pernah saya alami. Seorang rekan kerja bahkan menderita tipes, hampir mati dan terpaksa pulang kampung, itu akibat gagal memanage stress lahir batin ditambah pola makan yang memang mengerikan. Tapi semua itu tidak seberapa menyesakkan dibanding rasanya dipandang sebelah mata oleh para gadis, seolah-olah tukang galon itu sesuatu yang tak pantas dilirik lama-lama.
Anehnya, pekerjaan macam ini tampak tak terlalu melelahkan bagi mereka yang sudah punya keluarga. Manusia yang sudah punya tanggungan mungkin pikirannya jadi lebih bersih, mungkin isi kepalanya hanya mikir gimana cara menghidupi istri yang terlanjur dikawini dan membiayai anak-anak yang sudah terlanjur dilahirkan. Tujuannya hidupnya bisa fokus untuk cari duit. Lain dengan yang masih perjaka, pikirannya masih dicemari hasrat untuk bermain, bereksperimen, berkreasi, dan revolusi. Keinginan-keinginan yang jika tidak difasilitasi bisa bikin depresi, menumpulkan kreativitas dan mematikan jiwa.
Sayangnya saya tidak bisa berlama-lama mengasihani diri dengan mengeluhkan beratnya lakon jadi tukang galon. Karena kemudian saya tahu kalau banyak orang disekitar saya berkubang dalam keadaan yang jauh lebih mengerikan. Maklum, tetangga-tetangga sekomplek kebanyakan buruh rendahan dari berbagai pabrik, tetangga kampung sekitar juga banyak yang pengangguran. Sudah miskin lahir batin, terlanjur kawin dan bikin banyak anak, masih kecanduan rokok pula, adalah kasus yang sangat biasa diderita orang sekitar sini. Untung saja mereka punya agama, jadi ada pelarian dengan rajin beribadah dan memimpikan surga.
Sekarang soal kompetisi. Tergiur uang, banyak saja yang ikut-ikutan mendirikan usaha yang sama persis, di lokasi yang berdekatan pula. Rebutan pelanggan tak terhindarkan. Memang ada bagusnya, pembeli jadi punya pilihan, dan masing-masing pedagang dipaksa untuk memberikan yang terbaik agar pelanggannya setia. Namun ada juga buruknya, jenuhnya pasar membuat setiap depo berusaha menekan ongkos produksi secara tidak wajar. Ada banyak cara, tapi yang pertama terpikir biasanya menekan upah buruh, membeli air baku yang lebih murah sambil mencekik biaya perawatan. Masing-masing punya keburukannya sendiri.
Pertama, buruh yang bekerja dengan upah minim akan cenderung lebih stress. Anda yang percaya teori “keajaiban air” tentu segera mengendus keburukan dari hal ini. Air yang diolah dan dibawa oleh orang-orang stress akan merekam kegelisahan mereka dan menyebarkannya pada siapapun yang meminum air tersebut. Kalaupun itu hoax, orang-orang stress juga cenderung tak peduli dengan kesehatan orang lain. Bisa saja mereka jadi cuek ngupil sambil ngisi galon, lalu upil yang tercungkil masuk ke air minum dan pelanggan jadi lebih sehat karena minum air bervitamin U… Upil. Yaiks. Atau dengan lugunya merokok sambil ngisi galon, karena stress bikin mereka tidak puas meracuni paru-paru sendiri, air untuk banyak orang harus dicemari juga.
Kedua, menekan biaya perawatan mesin. Ini bisa dilakukan dengan banyak hal buruk, mulai dari mencuci dan memakai berulang-ulang filter yang seharusnya sudah diganti (yang jadi cepat mampet karena beli air dari sumber murahan), sampai tidak mengganti lampu Ultra Violet yang mati. Bagi konsumen yang peka, mungkin akan segera merasakan dan berpindah depo, tapi bagaimana konsumen yang sudah stress berat? Dengan sensitifitas indera yang sudah dirusak rokok dan polusi di tempat kerja, mereka akan terus minum tanpa pernah sadar ada sesuatu yang sangat salah.
Itu baru mencekik diri karena kompetisi, belum sikut-sikutan yang sebenarnya biasa dalam dagang. Dalam kompetisi, biasanya yang menang ya yang paling bermodal. Lantas bagaimana dengan kesadaran manusia? Gimana kaitannya dengan kelestarian bumi?
Dagang air bisa laku karena banyak sebab. Dua yang saya angkat disini. Pertama, jaman instan banyak orang malas masak air sumur, pilih yang praktis walau agak mahal. Kedua, karena air sumurnya memang terlalu buruk. Seperti disini, air tanahnya memang rusak banget. Jangankan layak untuk minum, untuk ngepel saja tidak. Baunya busuk sangat, kena kuku bisa hitam, kena keramik juga jadi noda. Kecuali beberapa orang nekat, semua orang yang waras pilih beli saja. Yang ekonominya pas-pasan minum isi ulang, yang banyak duit minum air produk perusahaan asing. Semua dibeli lewat saya.
Jadi mau tak mau saya harus mensyukuri busuknya air tanah. Semakin buruk air tanah, semakin jaya usaha saya. Sekarang bayangkan, gimana kalau suatu pagi saya jadi maha besar? Bermutasi dari kuli menjadi kapitalis multinasional yang hobinya menguasai sumber air di negeri manapun yang saya kunjungi? Setiap sumber saya beli dan pagari tinggi, anda butuh harus beli. Sesuatu yang ketersediaannya berlimpah itu tidak ada harganya, jadi demi profit lebih besar lagi, air tanah saya rusak, misalnya dengan limbah dan produk pestisida dari pabrik-pabrik saya yang lain, atau bisa juga sekedar mendukung prilaku yang merusak dan pendidikan yang tidak mencerahkan. Semakin air langka dan sulit didapat, akan semakin bisa dijual, dan semakin membuat kaya.
Hehe. Tentu saya tidak serakus itu. Belum.
Menurut saya, adalah kurang baik jika segelintir pihak terus menerus mengambil keuntungan dari sebuah “kelangkaan”, baik kelangkaan yang alami apalagi kelangkaan yang disengaja. Siapapun yang mendapat untung dari kelangkaan akan cenderung mensyukuri kelangkaan itu dan bisa saja tergoda untuk melestarikannya… atau malah memperparah.
Dari sisi konsumen, beli air (atau apapun) tanpa kesadaran sebagai solusi kelangkaan juga tidak mendidik. Setiap kali butuh, ya beli, tapi cuma sebatas beli tanpa peduli sebabnya air susah itu kenapa. Tanpa peduli airnya diambil dari kampung mana. Tanpa peduli apakah proses produksinya merusak atau tidak. Akhirnya prilakunya tetap semena-mena, tanpa kepedulian.  Selalu ada banyak cerita dibalik setiap produk yang kita konsumsi, yang jika kita sadari, bisa mengubah prilaku kita jadi lebih mikir. Nonton “story of stuff” bisa jadi awal yang baik.
Jadi baiknya gimana?
Sebaiknya, semua pihak berkepentingan bisa terlibat dalam mengusahakan kelimpahan. Dengan sadar, supaya ngerti jadi nggak sembarangan lagi. Trus untungnya juga tidak melulu masuk kantong individu tertentu, tapi dibagi untuk semua. Tujuan utamanya juga jangan akumulasi duit, tapi menciptakan kelimpahan bagi semua, jadi harganya semakin murah, kalau perlu bisa gratis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar